ISTIQLAL (4/9/98)# BUNG KARNO: "BAPERKI SUPAYA MENYADI ---------------------------------------------------------- BUNG KARNO: "BAPERKI SUPAYA MENYADI SUMBANGAN BESAR TERHADAP REVOLUSI INDONESIA" (2/4) Saya, Saudara-Saudara, dinamakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Pemimpin Besar Revolusi. Saya, barangkali saya ini adalah salah satu perasan dari Revolusi itu. Maka oleh karena itu manakala Cak Siauw atau Nyonya Lie mengucapkan kata tercinta kepada saya, saya kembalikan itu kepada Revolusi. Yang dicintai itu adalah Revolusi Indonesia. Yang dicintai itu adalah perjoangan untuk menyelesaikan Revolusi Indonesia. Nah, Baperki itu demikian. Berulang-ulang Baperki berkata, aktif menyelesaikan Revolusi Indonesia, tetap berdiri di atas segala hal yang mengenai Revolusi Indonesia, tetap berdiri di atas Pancasila, tetap berdiri di atas segala unsur-unsur untuk menyelesaikan Amanat Penderitaan Rakyat. Oleh karena itu saya dengan gembira dan senang hati datang di kongres-resepsi Baperki ini. Saudara-saudara, saya ini diangkat menyadi Presiden Republik Indonesia
berdasarkan Undang-undang Dasar 1945. Undang-undang Dasar 1945 itu begini,
Saudara-saudara. Pada 17 Agustus 1945 dibacakan Proklamasi di Pegangsaan
Timur yang sekarang berdiri di sana Gedung Pola. Maka di muka Gedung Poa
itu ada tugu, tugu itu ditaruh persis di tempat yang dulu saya injak membacakan
Proklamasi itu. Jadi kalau Saudara-Saudara ingin mengetahui tempat yang
saya
Di atas tugu itu diadakan gambarnya petir, gambar bledek, oleh karena di tempat itu dulu dibacakan naskah proklamasi. Dan naskah proklamasi itu memang boleh dikatakan petir, geledek, yang didengarkan oleh 5 benua dan 7 samudera! Tempo hari saya pernah pidato, nama Indonesia itu terkenal dan termasyhur, pertama kali pada tahun 1883, tatkala gunung Krakatau, tatkala gunung Indonesia lah pertama kali mengorbitkan batu dan pasir Indonesia ke angkasa. Krakatau meledak, batu dan pasirnya disemburkan ke atas oleh Krakatau itu masuk ke dalam orbit mengelilingi dunia bertahun-tahun, sehingga tiap-tiap musim waktu senja, sore, langit di Amerika, langit di Eropa kelihatan warna dari pengorbitan batu-batu dan pasir-pasir Indonesia itu. Pada 1883 pertama kali Indonesia mengagumkan dunia. Kemudian di dalam pidato, yaitu pidato Front Nasional 13 Februari yang lalu saya berkata, ke dua kalinya nama Indonesia termasyhur, yaitu 17 Agustus l945. Nah, Saudara-Saudara, saya menghendaki agar supaya nama Indonesia itu sering menjadi sebutan orang di dunia ini. Bukan karena perbuatan-perbuatan Indonesia yang jelek, tidak, tetapi hendaknya karena perbuatan-perbuatan bangsa Indonesia, rakyat Indonesia sebagai mercusuar, kataku, dari umat manusia di dunia ini. Saudara-Saudara, di dalam keadaan yang demikian itu lah kita sekarang
ini berada, kita telah dapat memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah kekuasaan
Republik, akan nanti terlaksana pada tanggal 1 Mei yang akan datang, tinggal
puluhan hari lagi. Itu pun seperti satu ledakan dari
Tinggal satu yang belum, yaitu program ke tiga dari Triprogram Pemerintah, Sandang-pangan. Dan di sini kita sekalian harus mencurahkan kita punya tenaga agar supaya soal sandang-pangan ini lekas bisa terpecahkan. Dan tadi Pak Roeslan, Cak Roeslan, telah menggambarkan pada Saudara-Saudara,
tekad daripada Pemerintah Republik Indonesia, bahwa Republik Indonesia,
Pemerintahnya tetap memegang teguh kepada Triprogram ini. Tetap hendak
menyelesaikan Triprogram ini. Tetap dus akan menyelesaikan program ke tiga
dari Triprogram yang berbunyi sandang-pangan Bukan
Nah ini, maka oleh karena Baperki dengan tegas menyokong, bukan saya menyokong, bahkan ikut serta, ingin ikut serta, ingin dibawa ikut serta di dalam pelaksanaan Panca Program Front Nasional itu, maka saya merasa amat sekali berbahagia dan memberi restu saya kepada Baperki. Saya tadi berhata, saya berpidato di sini bukan saya sebagai Bung Karno yang tercinta, tetapi sebagai Presiden Republik Indonesia, Presiden dari Republik Indonesia, yang di dalam Undang-Undang Dasar 45 --saya tadi belum ceritakan, dibacakan Proklamasi tanggal 17 Agustus 45, keesokan harinya, 18 Agustus 45, diterima lah dengan resmi oleh Musyawarah Pemimpin-Pemimpin, UUD 45. Jadi UUD 45 itu sebetulnya resmi lahirnya pada tanggal 18 Agustus 1945. Nah, Di dalam UUD 45 ini ada ditullis satu hal. Dan hanya sekali itu disebut, Saudara-Saudara, perkataan "asli", yaitu bahwa Presiden Republik Indonesia harus seorang Indonesia asli. Dituliskan di dalam UUD 45, Presiden harus orang Indonesia asli. Saya orang Indonesia asli.. Garis tiga di bawah perkataan "dianggap" itu. Nah, taruh garis tiga di bawah perkataan "dianggap". Dianggap, strip, strip, strip, "drie strepen onder dat woord" 'dianggap' orang Indonesia asli. Saya sendiri menanya diri saya kadang-kadang. He Sukarno, apa kowe iki
bener-bener asli? Ya, engkau itu dianggap asli Indonesia. Tetapi apakah
saya betul-betul asli itu? Mboten sumerep (tidak tahu -red.). Saya tidak
tahu, Saudara-Saudara. Coba lah, siapa bisa menunjukkan asli atau tidak
asli dari darahnya itu. Saya ini tidak tahu, Saudara-Saudara, dianggap
asli. Tetapi
Kalau melihat sifat saya, Saudara-Saudara, saya ini sedikit-sedikit rupa Tionghoa. Nah, terang-terangan, saya ini kan rupanya saya sudah kelibatan sedikit Tionghoa! Lain dengan Cak Roeslan, sedikit Keling dia itu! Jadi siapa bisa menyebutkan dirinya asli atau tidak, itu sebetulnya, Saudara-Saudara. Kalau melihat jaman dekat saya, Saudara-Saudara, jaman dekat, saya ini adalah anak hasil perkawinan dari orang suku Jawa dengan orang suku Bali. Ibu saya itu orang Bali, bapak saya orang Jawa. Saya sudah belasteran antara Bali dan Jawa. Belasteran. Ya maklum, Cak Siauw bicara Jawa Timur, saya juga Jawa Timur Jawa Timuran, arek Suroboyo! Ibu saya itu orang Bali. Katanya orang Bali itu ada darah dari Majapahit.
Majapahit itu ada darah dari Hindu. Bahkan orang Majapahit itu banyak sekali
turunan dari Campa, Saudara-Saudara. Barangkali Saudara-Saudara pernah
baca di dalam kitab sejarah, di Majapahit itu banyak
Ayo, aku tanya kepada Saudara yang dudak di sini dengan dasi yang baik itu. Apa Saudara bisa mengatakan dengan jelas, darah apa yang mengalir di dalam tubuh Saudara? Tidak bisa. Maka itu, Saudara-Saudara, kalau saya sendiri, lho, sebagai persoon, saya sendiri tidak tahu asli atau tidak asli itu. Saya sendiri tidak mengadakan perbedaan antara asli dengan tidak asli. Tidak. Saya mau cerita satu rahasia, tatkala saya masih muda, Saudara-Saudara, hampir-hampir saya ini kawin dengan orang Nio! Saya cuma sebut nama, she-nya tidak saya sebutkan. Saya tidak sebutkan she-nya ya, ada she, lantas Thiam Nio. Hampir-hampir saja. Tapi, yaitu, pada waktu itu masih berjalan alam kolonial, alam pra-merdeka. Orang tunya Thiam Nio --she-nya tidak saya sebutkan-- dia berkata: "Masak kawin sama orang Jawa!" Saya dikatakan orang Jawa. Sepihak dari orang tua saya berkata: "Masak kawin sama orang Tionghoa, Peranakan Tionghoa!" Alam demikian pada waktu itu, sehingga tidak terjadilah perkawinan antara Sukarno dengan Thiam Nio itu. He, tapi satu rahasia, lho! Jadi saya, Saudara-Saudara, saya sendiri tidak berdiri di atas asli atau tidak asli, tidak, tidak, sama sekali tidakl Karena itu maka saya pada tanggal 1 Juni 1945, sebelum kita mengadakan
kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, bahkan pada waktu itu di bawah
ancaman bayonet Jepang, Saudara-Saudara, saya telah ucapkan "Lahirnya Pancasila",
yang tadi diterangkan pada pokok-pokoknya oleh Cak Roeslan Abdulgani. Lantas
Cak Roeslan Abdulgani bertanya kepadamu sekalian,
Jawab Saudara-Saudara sekalian ialah, ya, kita berpegang teguh kepada Pancasila. Kita oleh karenanya cinta kepada tanah-air, bangsa Indonesia ini dari Sabang sampai ke Meraluke. Di dalam "Lahirnya Pancasila" memang saya terangkan hal yang demikian
itu. Saya citeer Ernest Renan. Kemudian saya koreksi. Ernest Renan adalah
terlalu sempit. Saya koreksi dengan Otto Bauer, yang mengatakan, bahwa
"Eine nation ist eine aus Schickselgemeinschaft erwachsene Karaktergemeinschaft",
sebagai yang diterangkan oleh Cak Roeslan. Ya, tapi Otto Bauer pun saya
koreksi, saya bawa lanjut kepada persatuan dari tanah-air, hubungan antara
manusia
Itu tahun 45, Saudara-Saudara. Sekarang bagi saya sendiri, bahkan lebih
dari itu. Saya adalah nasionalis Indonesia. Saya ada lah orang Indonesia.
Saya adalah pencinta bangsa dan tanah-air Indonesia ini, bukan hanya oleh
karena nasionalisme-ku ada lah satu jiwa ingin bersatu, Renan,
Otto Bauer berkata, bakan sekadar ingin bersatu, bukan sekadar satu
jiwa, un ame, artinya jiwa, tidak. Bukan sekadar itu, tetapi adalah persatuan
perangai. Karaktergeimeinchaft. Kita mempunyai kepribadian sendiri, karakter,
karakter Indonesia. Ada kah engkau dari kepribadian ini?!
Di dalam "Lahirnya Pancasila" sudah saya tambahkan lagi persatuan antara
manusia dengan buminya, yang bumi Indonesia ini oleh Tuhan Yang Maha Esa
telah dikumpulkan menyadi satu antara dua benua dan dua samudra. Ini satu
petunjuk. Dan bukan saya itu, kita dilahirkan di bumi ini, kita hidup di
bumi ini, kita akan mati di bumi ini. Ada kah persatuan antaramu dengan
bumi
Sekarang aku tambah lagi, bagiku sendiri bukan sekadar persatuan antaraku dengan bumiku, dengan Sabangku, dengan Sumtateraku, dengan Jawaku, dengan Kalimantanku, dengan Baliku, dengan Lombokku, dengan Surabayaku, dengan Malukuku, dengan Irian Baratku, tidak. Bukan sekadar hubunganku, dus hubunganmu, mu, mu, mu, dengan geografi yang bernama Indonesia. Tidak. Aku sudah naik kelas yang lebih tinggi dari itu, naik kelas kepada apa
yang saya pernah ucapkan di sini, di gedung ini, Sport Hall Senayan, bahwa
bagiku Indonesia adalah sudah lebih lagi daripada satu geografi, bahwa
bagiku Indonesia sudah lebih lagi daripada rasa d'etre ensemble, bahwa
bagiku Indoaesia sudah lebih daripada satu Karaktergemeinschaft. Sebab
apa, kataku? Aku berkata secara poetis di dalam pidatoku itu waktu, kalau
aku mencium, Indonesia. Kalau aku berdiri di pinggir pantai selatan dan
aku menutupkan aku punya mata dan aku mendengarkan lautan sana itu berombak,
bergelora membanting di pantai itu, aku mendengarkan Indonesia. Jikalau
aku melihat awan putih berarak di atas gunung Tangkubanprahu, aku melihat
awan-awan Indonesia, yang lain dengan awan-awan di Zwitzerland atau awan-awan
di Amerika. Kalau aku mendengarkan burung perkutut menyanyi di pepohonan,
aku mendengarkan Indonesia. Kalau melihat sinar matanya anak-anak yang
berdiri di pinggir jalan, sinar mata anak-anak yang berteriakkan "Merdeka
Pak, Merdeka, Merdeka", aku melihat Indonesia. Bahkan aku melihat
Indonesia bagiku adalah sudah satu totaliteit bukan sekadar satu geografi,bukan sekadar satu desir d'etre ensemble, bukan sekadar satu Gemeinschaft karakter. Nah, Indonesia sudah satu totaliteit bagiku. Awan, awan Indonesia. Bumi, bumi Indonesia. Laut, laut Indonesia. Geloranya laut itu, geloranya laut Indonesia. Suara burung, burung Indonesia. Sinar mata manusia, sinar mata Indonesia. Segala angin yang berbisik mengelilingiku ini, angin Indonesia. Dan itu semuanya kucintai. |