PIDATO SOEKARNO: LAHIRNYA PANCASILA 4/4
Priinsip No. 4 sekarang saya usulkan, Saya di dalam 3 hari ini belum
mendengarkan prinsip itu, yaitu prinsip k e s e j a h t e r a a n
, p r i n s i p : t i d a k a k a n a d a
k e m i s k i n a n d i d a l a m I
n d o n e s i a M e r d e k a. Saya katakan tadi: prinsipnya
San Min Chu I ialah Mintsu, Min Chuan, Min Sheng: nationalism, democracy,
sosialism. Maka prinsip kita harus: Apakah kita mau Indonesia Merdeka,
yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyat #sejahtera,
yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan,
merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang-pangan kepadanya?
Mana yang kita pilih, saudara-saudara? Jangan saudara kira, bahwa kalau
Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai
kesejahteraan ini. Kita sudah lihat, di negara-negara Eropah adalah Badan
Perwakilan, adalah parlementaire democracy. Tetapi tidakkah diEropah justru
kaum kapitalis merajalela?
Di Amerika ada suatu badan perwakilan rakyat, dan tidakkah di Amerika
kaum kapitalis merajalela? Tidakkah di seluruh benua Barat kaum kapitalis
merajalela? Padahal ada badan perwakilan rakyat! Tak lain tak bukan sebabnya,
ialah oleh karena badan- badan perwakilan rakyat yang diadakan disana itu,
sekedar menurut resepnya Franche Revolutie. Tak lain tak bukan adalah yang
dinamakan democratie disana itu hanyalah p o l i t i e- k e democratie
saja; semata-mata tidak ada sociale rechtvaardigheid, -- tak ada k e a
d i l a n s o s i a l, tidak ada e k o n o m i s c h e democratie
sama sekali.
Saudara-saudara, saya ingat akan kalimat seorang pemimpin Perancis,
Jean Jaures, yang menggambarkan politieke democratie. „Di dalam Parlementaire
Democratie, kata Jean Jaures, di dalam Parlementaire Democratie, tiap-tiap
orang mempunyai hak sama. Hak p o l i t i e k yang sama, tiap
orang boleh memilih, tiap-tiap orang boleh masuk di dalam parlement. Tetapi
adakah Sociale rechtvaardigheid, adakah kenyataan kesejahteraan di kalangan
rakyat?" Maka oleh karena itu Jean Jaures berkata lagi: „Wakil
kaum buruh yang mempunyai hak p o l i t i e k itu, di
dalam Parlement dapat menjatuhkan minister. Ia seperti Raja! Tetapi di
dalam dia punya tempat bekerja, di dalam paberik, - sekarang ia menjatuhkan
minister, besok dia dapat dilempar keluar ke jalan raya, dibikin werkloos,
tidak dapat makan suatu apa".
Adakah keadaan yang demikian ini yang kita kehendaki?
Saudara-saudara, saya usulkan: Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya
bukan demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni
p o l i ti e k - e c o m i s c h e democratie yang mampu mendatangkan
kesejahteraan sosial! Rakyat Indonesia sudah lama bicara tentang
hal ini. Apakah yang dimaksud dengan Ratu Adil? Yang dimakksud dengan
faham Ratu Adil, ialah sociale rechtvaardigheid. Rakyat ingin sejahtera.
Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan kurang pakaian, menciptakan
dunia-baru yang di dalamnya a d a keadilan di bawah pimpinan Ratu Adil.
Maka oleh karena itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat
mencinta rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid
ini, yaitu bukan saja persamaan p o l i t i e k, saudara-saudara,
tetapi pun di atas lapangan e k o n o m i kita harus mengadakan
persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.
Saudara-saudara, badan permusyawaratan yang kita akan buat, hendaknya
bukan badan permusyawaratan politieke democratie saja, tetapi badan yang
b e r sa m a d e n g a n m a -s y a r a k a t dapat
mewujudkan dua prinsip: politieke rechtvaardigheid dan sociale rechtvaardigheid.
Kita akan bicarakan hal-hal ini bersama-sama,saudara-saudara, di dalam
badan permusyawaratan. Saya ulangi lagi, segala hal akan kita selesaikan,
segala hal! Juga di dalam urusan kepada negara, saya terus terang, saya
tidak akan memilih monarchie. Apa sebab? Oleh karena monarchie „vooronderstelt
erfelijkheid", - turun-temurun. Saya seorang Islam, saya demokrat
karena saya orang Islam, saya meng-hendaki mufakat, maka saya minta supaya
tiap-tiap kepala negara pun dipilih. Tidakkah agama Islam mengatakan bahwa
kepala-kepala negara, baik kalif, maupun Amirul mu’minin, harus dipilih
oleh Rakyat? Tiap-tiap kali kita mengadakan kepala negara, kita pilih.
Jikalau pada suatu hari Ki Bagus Hadikoesoemo misalnya, menjadi kepala
negara Indonesia, dan mangkat, meninggal dunia, jangan anaknya Ki Hadikoesoemo
dengan sendirinya, dengan automatis menjadi pengganti Ki Hadikoesoemo.
Maka oleh karena itu saya tidak mufakat kepada prinsip monarchie itu.
Saudara-saudara, apakah prinsip ke-5? Saya telah mengemukakan 4 prinsip:
1. Kebangsaan Indonesia.
2. Internasionalisme, - atau peri-kemanusiaan.
3. Mufakat, - atau demukrasi.
4. Kesejahteraan sosial.
Prinsip yang kelima hendaknya:
Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa.
Prinsip K e t u h a n a n ! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan,
tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri.
Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam
bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w., orang Buddha menjalankan
ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya
ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya
dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya
ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada „egoisme-agama". Dan hendaknya
N e g a r a Indonesia satu N e g a r a yang bertuhan!
Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan
cara yang b e r k e a d a b a n . Apakah cara yang berkeadaban itu?
Ialah h o r m a t - m e n g h o r m a t i s a t u s a
m a l a i n . (Tepuk tangan sebagian hadlirin).
Nabi Muhammad s.a.w. telah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid,
tentang menghormati agama- agama lain. Nabi Isa pun telah menunjukkan verdraagzaamheid.
Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan
itu, menyatakan: bahwa prinsip kelima dari pada Negara kita, ialah
K e t u h a n a n y a n g b e r k e b u d a y a a n,
Ketuanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati
satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui
bahwa Negara Indonesia Merdeka berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa!
Disinilah, dalam pangkuan azas yang kelima inilah, saudara- saudara,
segenap agama yang ada di Indonesia sekarang ini, akan mendapat tempat
yang sebaik-baiknya. Dan Negara kita akan bertuhan pula!
Ingatlah, prinsip ketiga, permufakatan, perwakilan, disitulah tempatnya
kita mempropagandakan idee kita masing-masing dengan cara yang berkebudayaan!
Saudara-saudara! „Dasar-dasar Negara" telah saya usulkan. Lima bilangannya.
Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat disini. Dharma
berarti kewajiban, sedang kita membicarakan d a s a r. Saya senang kepada
simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima
setangan. Kita mempunyai Panca Inderia. Apa lagi yang lima bilangannya?
(Seorang yang hadir: Pendawa lima). Pendawapun lima oranya. Sekarang
banyaknya prinsip; kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan
dan ketuhanan, lima pula bilangannya.
Namanya bukan Panca Dharma, tetapi - saya namakan ini dengan petunjuk
seorang teman kita ahli bahasa namanya ialah P a n c a
S i l a. Sila artinya azas atau d a s a r, dan di atas
kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi.
(Tepuktangan riuh).
Atau, barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan
lima itu?
Saya boleh peras, sehingga tinggal 3 saja. Saudara-saudara tanya kepada
saya, apakah „perasan" yang tiga itu? Berpuluh-puluh tahun sudah
saya pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia Merdeka, Weltanschauung
kita. Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan
dan peri-kemanusiaan, saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya
namakan
s o c i o - n a t i o n a l i s m e .
Dan demokrasi yang bukan demokrasi barat, tetapi politiek- economische
demokratie, yaitu politieke demokrasi d e n g a n sociale rechtvaardigheid,
demokrasi d e n g a n kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu:
Inilah yang dulu saya namakan
s o c i o -d e m o c r a t i e.
Tinggal lagi ketuhanan yang menghormati satu sama lain.
Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: socio-nationalisme,
socio-demokratie, dan ketuhanan. Kalau Tuan senang kepada simbolik tiga,
ambillah yang tiga ini. Tetapi barangkali tidak semua Tuan-tuan senang
kepada trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan
satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu?
Sebagai tadi telah saya katakan: kita mendirikan negara Indonesia,
yang k i t a s e m u a harus men-dukungnya. S e
m u a b u a t s e m u a ! Bukan Kristen buat Indonesia,
bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Van Eck buat indonesia, bukan
Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, -
s em u a b u a t s e m u a ! Jikalau saya peras yang
lima menjadi tiga, dan yang tiga
menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen,
yaitu perkataan „ g o t o ng - r o y o n g „.
Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara g o t o n g
r o y o n g! Alangkah hebatnya! N e g a r a G o t o n g
R o y o n g !
(Tepuk tangan riuh rendah).
„Gotong Royong" adalah faham yang d i n a m i s , lebih dinamis dari„kekeluargaan",
saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu faham yang statis, tetapi gotong-royong
menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota
yang terhormat Soekardjo satu karyo, satu gawe.
Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini,
b e r s a m a- s a m a ! Gotong-royong adalah pembantingan-tulang
bersama, pemerasan-keringat bersama, perjoangan bantu-binantu bersama.
A m a l semua buat kepentingan semua, k e r i n g a t
semua buat kebahagiaan semua. Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama!
Itulah Gotong Royong! (Tepuktangan riuh rendah).
Prinsip Gotong Royong diatara yang kaya dan yang tidak kaya, antara
yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan
yang menjadi bangsa Indonesia. Inilah, saudara-saudara, yang saya usulkan
kepada saudara-saudara.
Pancasila menjadi Trisila, Trisila menjadi Eka Sila. Tetapi terserah
kepada tuan-tuan, mana yang Tuan-tuan pilih: trisila, ekasila ataukah pancasila?
Is i n y a telah saya katakan kepada saudara-saudara semuanya.Prinsip-prinsip
seperti yang saya usulkan kepada saudara-saudara ini, adalah prinsip untuk
Indonesia Merdeka yang abadi. Puluhan tahun dadaku telah menggelora dengan
prinsip-prinsip itu. Tetapi jangan lupa, kita hidup didalam masa peperangan,
saudara- saudara. Di dalam masa peperangan itulah kita mendirikan negara
Indonesia, - di dalam gunturnya peperangan! Bahkan saya mengucap
syukur alhamdulillah kepada Allah Subhanahu wata’ala, bahwa kita mendirikan
negara Indonesia bukan di dalam sinarnya bulan purnama, tetapi di bawah
palu godam peperangan dan di dalam api peperangan. Timbullah Indonesia
Merdeka, Indonesia yang gemblengan, Indonesia Merdeka yang digembleng dalam
api peperangan, dan Indonesia Merdeka yang demikian itu adalah negara Indonesia
yang kuat, bukan negara Indonesia yang lambat laun menjadi bubur. Karena
itulah saya mengucap syukur kepada Allah s.w.t.
Berhubung dengan itu, sebagai yang diusulkan oleh beberapa pembicara-pembicara
tadi, barangkali perlu diadakan noodmaatregel, peraturan bersifat sementara.
Tetapi dasarnya, isinya Indonesia Merdeka yang kekal abadi menurut pendapat
saya, haruslah Panca Sila. Sebagai dikatakan tadi,saudara-saudara, itulah
harus Weltanschauung kita. Entah saudara- saudara mufakatinya atau tidak,
tetapi saya berjoang sejak tahun 1918 sampai 1945 sekarang ini untuk Weltanschauung
itu. Untuk membentuk nasionalistis Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia;
untuk kebangsaan Indonesia yang hidup di dalam peri-kemanusiaan; untuk
permufakatan; untuk sociale rechtvaardigheid; untuk ke-Tuhananan. Panca
Sila, itulah yang berkobar-kobar di dalam dada saya sejak berpuluh-puluh
tahun. Tetapi, saudara-saudara, diterima atau tidak, terserah saudara-saudara.
Tetapi saya sendiri mengerti seinsyaf- insyafnya, bahwa tidak satu Weltaschauung
dapat menjelma dengan sendirinya, menjadi realiteit dengan sendirinya.
Tidak ada satu Weltanschauung dapat menjadi kenyataan, menjadi
r e a l i t e i t , jika tidak dengan p e r j o an g a n !
Janganpun Weltanschauung yang diadakan oleh manusia, jangan pun yang
diadakan Hitler, oleh Stalin, oleh Lenin, oleh Sun Yat Sen!
„D e Mensch", -- manusia! --, harus p
e r j o a n g k a n itu. Zonder perjoangan itu tidaklah ia
akan menjadi realiteit! Leninisme tidak bisa menjadi realiteit zonder perjoangan
seluruh rakyat Rusia, San Min Chu I tidak dapat menjadi kenyataan zonder
perjoangan bangsa Tionghoa, saudara-saudara! Tidak! Bahkan saya berkata
lebih lagi dari itu: zonder perjoangan manusia, tidak ada satu hal agama,
tidak ada satu cita-cita agama, yang dapat menjadi realiteit. Janganpun
buatan manusia, sedangkan perintah Tuhan yang tertulis di dalam kitab Qur’an,
zwart op wit (tertulis di atas kertas), tidak dapat menjelma menjadi realiteit
zonder perjoangan manusia yang dinamakan ummat Islam. Begitu pula perkataan-perkataan
yang tertulis didalam kitab Injil, cita-cita yang termasuk di dalamnya
tidak dapat menjelma zonder perjoangan ummat Kristen.
Maka dari itu, jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Panca Sila yang
saya usulkan itu, menjadi satu realiteit, yakni jikalau kita ingin hidup
menjadi satu bangsa, satu nationali- teit yang merdeka, ingin hidup sebagai
anggota dunia yang merdeka, yang penuh dengan perikemanusiaan, ingin hidup
diatas dasar permusyawaratan, ingin hidup sempurna dengan sociale rechtvaardigheid,
ingin hidup dengan sejahtera dan aman, dengan ke-Tuhanan yang luas dan
sempurna, --janganlah lupa akan syarat untuk menyeleng-garakannya,
ialah perjoangan, perjoangan, dan sekali lagi pejoangan. Jangan mengira
bahwa dengan berdirinya negara Indonesia Merdeka itu perjoangan kita telah
berakhir.Tidak! Bahkan saya berkata: D i - d a l a m Indonesia Merdeka
itu perjoangan kita harus berjalan t e r u s, hanya lain sifatnya
dengan perjoangan sekarang, lain coraknya. Nanti kita, bersama-sama,
sebagai bangsa yang bersatu padu, berjoang terus menyelenggarakan apa yang
kita cita-citakan di dalam Panca Sila. Dan terutama di dalam zaman peperangan
ini, yakinlah, insyaflah, tanamkanlah dalam kalbu saudara-saudara, bawa
Indonesia Merdeka tidak dapat datang jika bangsa Indonesia tidak mengambil
risiko, -- tidak berani terjun menyelami mutiara di dalam samudera yang
sedalam-dalamnya. Jikalau bangsa Indonesia tidak bersatu dan tidak
menekad-mati-matian untuk mencapai merdeka, tidaklah kemerdekaan Indonesia
itu akan menjadi milik bangsa Indonesia buat selama-lamanya, sampai keakhir
jaman! Kemerdekaan hanya- lah diperdapat dan dimiliki oleh bangsa, yang
jiwanya berkobar-kobar dengan tekad „Merdeka, -- merdeka atau mati"!
(Tepuk tangan riuh)
Saudara-sauadara! Demikianlah saya punya jawab atas pertanyaan Paduka
Tuan Ketua. Saya minta maaf, bahwa pidato saya ini menjadi panjang lebar,
dan sudah meminta tempo yang sedikit lama, dan saya juga minta maaf, karena
saya telah mengadakan kritik terhadap catatan Zimukyokutyoo yang saya anggap„verschrikkelijk
zwaarwichtig" itu. Terima kasih!
Tepuk tangan riuh rendah dari segenap hadlirin.
Disalin dari buku LAHIRNYA PANCASILA, Penerbit Guntur, Jogjakarta,
Cetakan kedua, 1949
Publikasi 28/1997 LABORATORIUM STUDI SOSIAL POLITIK INDONESIA
|