PIDATO SOEKARNO: LAHIRNYA PANCASILA 3/4
K i t a m e n d i r i k a n s a t u
n e g a r a k e b a n g s a a n I n d o n e s i a.
Saya minta saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan saudara-saudara Islam
lain:
maafkanlah saya memakai perkataan „kebangsaan" ini! Sayapun orang Islam.
Tetapi saya minta kepada saudara- saudara, janganlah saudara-saudara salah
faham jikalau saya katakan bahwa dasar pertama buat Indonesia ialah dasar
k e b a n g s a a n . Itu bukan berarti satu kebangsaan dalam arti yang
sempit, tetapi saya menghendaki satu n a s i on a l e s t a
a t, seperti yang saya katakan dalam rapat di Taman Raden Saleh beberapa
hari yang lalu. Satu Nationale Staat Indonesia bukan berarti staat yang
sempit. Sebagai saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo katakan kemarin, maka tuan
adalah orang bangsa Indonesia, bapak tuanpun adalah orang Indonesia, nenek
tuanpun bangsa Indonesia, datuk-datuk tuan, nenek-moyang tuanpun bangsa
Indonesia. Diatas satu kebangsaan Indonesia, dalam arti yang dimaksudkan
oleh saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo itulah, kita dasarkan negara Indonesia.
S a t u N a t i o n a l e S t a a t ! Hal ini
perlu diterangkan lebih dahulu, meski saya di dalam rapat besar di Taman
Raden Saleh sedikit-sedikit telah menerangkannya. Marilah saya uraikan
lebih jelas dengan mengambil tempoh sedikit: Apakah yang dinamakan bangsa?
Apakah syaratnya bangsa?
Menurut Renan syarat bangsa ialah „kehendak akan bersatu". Perlu orang-orangnya
merasa diri bersatu dan mau bersatu.
Ernest Renan menyebut syarat bangsa: „le desir d’etre ensemble", yaitu
kehendak akan bersatu. Menurut definisi Ernest Renan, maka yang menjadi
bangsa, yaitu satu gerombolan manusia yang mau bersatu, yang merasa dirinya
bersatu.
Kalau kita lihat definisi orang lain, yaitu definisi Otto Bauer, di
dalam bukunya „Die Nationalitatenfrage", disitu ditanyakan: „Was ist eine
Nation?" dan jawabnya ialah: „Eine Nation ist eine aus chiksals-gemeinschaft
erwachsene Charaktergemeinschaft".
Inilah menurut Otto Bauer satu natie. (Bangsa adalah satu persatuan
perangai yang timbul karena persatuan nasib).
Tetapi kemarinpun, tatkala, kalau tidak salah, Prof. Soepomo mensitir
Ernest Renan, maka anggota yang terhormat Mr. Yamin berkata: „verouderd",„sudah
tua". Memang tuan-tuan sekalian, definisi Ernest Renan sudah „verouderd",
sudah tua. Definisi Otto Bauer pun sudah tua. Sebab tatkala Otto
Bauer mengadakan definisinya itu, tatkala itu belum timbul satu wetenschap
baru, satu ilmu baru, yang dinamakan Geopolitik.
Kemarin, kalau tidak salah, saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo, atau Moenandar,
mengatakan tentang „Persatuan antara orang dan tempat". Persatuan antara
orang dan tempat, tuan-tuan sekalian, persatuan antara manusia dan tempatnya!
Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat
dari bumi yang ada di bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto Bauer hanya
sekedar melihat orangnya. Mereka hanya memikirkan „Gemeinschaft"nya dan
perasaan orangnya, „l’ame et desir". Mereka hanya mengingat karakter, tidak
mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi yang didiami manusia itu,
Apakah tempat itu? Tempat itu yaitu t a n a h a i r . Tanah
air itu adalah satu kesatuan. Allah s.w.t membuat peta dunia, menyusun
peta dunia. Kalau kita melihat peta dunia, kita dapat menunjukkan dimana„kesatuan-kesatuan"
disitu. Seorang anak kecilpun, jukalau ia melihat peta dunia, ia dapat
menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta
itu dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau diantara 2 lautan
yang besar, lautan Pacific dan lautan Hindia, dan diantara 2 benua,
yaitu benua Asia dan benua Australia. Seorang anak kecil dapat mengatakan,
bahwa pulau-pulau Jawa,Sumatera, Borneo, Selebes, Halmaheira, Kepulauan
Sunda Kecil, Maluku, dan lain-lain pulau kecil diantaranya, adalah satu
kesatuan.
Demikian pula tiap-tiap anak kecil dapat melihat pada peta bumi, bahwa
pulau-pulau Nippon yang membentang pada pinggir Timur benua Asia sebagai„golfbreker"
atau pengadang gelombang lautan Pacific, adalah satu kesatuan.
Anak kecilpun dapat melihat, bahwa tanah India adalah satu kesatuan
di Asia Selatan, dibatasi oleh lautan Hindia yang luas dan gunung Himalaya.
Seorang anak kecil pula dapat mengatakan, bahwa kepulauan Inggris adalah
satu kesatuan. Griekenland atau Yunani dapat ditunjukkan sebagai kesatuan
pula, Itu ditaruhkan oleh Allah s.w.t. demikian rupa. Bukan Sparta saja,
bukan Athene saja, bukan Macedonia saja, tetapi Sparta plus Athene plus
Macedonia plus daerah Yunani yang lain-lain, segenap kepulauan Yunani,
adalah satu kesatuan.
Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah-darah kita, tanah air kita?
Menurut geopolitik, maka Indonesialah tanah air kita. Indonesia yang bulat,
bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja, atau Selebes saja,
atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan uang ditunjuk
oleh Allah s.w.t. menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua samudera,
itulah tanah air kita!
Maka jikalau saya ingat perhubungan antara orang dan tempat, antara
rakyat dan buminya, maka tidak cukuplah definisi yang dikatakan oeh Ernest
Renan dan Otto Bauer itu. Tidak cukup „le desir d’etre ensembles", tidak
cukup definisi Otto Bauer „aus schiksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft"
itu. Maaf saudara-saudara, saya mengambil contoh Minangkabau, diantara
bangsa di Indonesia, yang paling ada „desir d’entre ensemble", adalah
rakyat Minangkabau, yang banyaknya kira-kira 2,5 milyun.
Rakyat ini merasa dirinya satu keluarga. Tetapi Minangkabau bukan
satu kesatuaan, melainkan hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan!
Penduduk Yogyapun adalah merasa „le desir d"etre ensemble", tetapi Yogyapun
hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan. Di Jawa Barat rakyat
Pasundan sangat merasakan „le desir d’etre ensemble", tetapi Sundapun hanya
satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan.
Pendek kata, bangsa Indonesia, Natie Indonesia, bukanlah sekedar satu
golongan orang yang hidup dengan „le desir d’etre ensemble" diatas daerah
kecil seperti Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis,
tetapi bangsa Indonesia ialah s e l u r u h manusia-manusia
yang, menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh s.w.t., tinggal dikesatuannya
semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatra sampai ke Irian! S
e l u r u h n y a !, karena antara manusia 70.000.000 ini sudah ada „le
desir d’etre
enemble", sudah terjadi „Charaktergemeinschaft"! Natie Indonesia, bangsa
Indonesia, ummat Indonesia jumlah orangnya adalah 70.000.000, tetapi 70.000.000
yang telah menjadi s a t u, s a t u, sekali lagi
s a t u ! (Tepuk tangan hebat).
Kesinilah kita semua harus menuju: mendirikan satu Nationale staat,
diatas kesatuan bumi Indonesia dari Ujung Sumatera sampai ke Irian. Saya
yakin tidak ada satu golongan diatara tuan-tuan yang tidak mufakat, baik
Islam maupun golongan yang dinamakan „golongan kebangsaan". Kesinilah kita
harus menuju semuanya.
Saudara-saudara, jangan orang mengira bahwa tiap-tiap negara merdeka
adalah satu nationale staat! Bukan Pruisen, bukan Beieren, bukan Sakssen
adalah nationale staat, tetapi seluruh Jermanialah satu nationale staat.
Bukan bagian kecil-kecil, bukan Venetia, bukan Lombardia, tetapi seluruh
Italialah, yaitu seluruh semenanjung di Laut Tengah, yang diutara dibatasi
pegunungan Alpen, adalah nationale staat. Bukan Benggala, bukan Punjab,
bukan Bihar dan Orissa, tetapi seluruh segi-tiga Indialah nanti harus menjadi
nationale staat.
Demikian pula bukan semua negeri-negeri di tanah air kita yang merdeka
dijaman dahulu, adalah nationale staat. Kita hanya 2 kali mengalami nationale
staat, yaitu di jaman Sri Wijaya dan di zaman Majapahit. Di luar dari itu
kita tidak mengalami nationale staat. Saya berkata dengan penuh hormat
kepada kita punya raja-raja dahulu, saya berkata dengan beribu-ribu hormat
kepada Sultan Agung Hanyokrokoesoemo, bahwa Mataram, meskipun merdeka,
bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Siliwangi di
Pajajaran, saya berkata, bahwa kerajaannya bukan nationale staat. Dengan
persaan hormat kepada Prabu Sultan Agung Tirtayasa, berkata, bahwa kerajaannya
di Banten, meskipun merdeka, bukan satu nationale staat. Dengan perasaan
hormat kepada Sultan Hasanoedin di Sulawesi yang telah membentuk kerajaan
Bugis, saya berkata, bahwa tanah Bugis yang merdeka itu bukan nationale
staat.
Nationale staat hanya Indonesia s e l u r u h n y a, yang
telah berdiri dijaman Sri Wijaya dan Majapahit dan yang kini pula kita
harus dirikan bersama-sama. Karena itu, jikalau tuan-tuan terima baik,
marilah kita mengambil sebagai dasar Negara yang pertama: K e b a n g s
a a n I n d o n e s i a . Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan
kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi,
Bali, atau lain-lain,tetapi k e b a n g s a a n I n d o n e s i a,
yang bersama-sama menjadi dasar satu nationale staat. Maaf, Tuan Lim Koen
Hian, Tuan tidak mau akan kebangsaan? Di dalam pidato Tuan, waktu ditanya
sekali lagi oleh Paduka Tuan fuku-Kaityoo, Tuan menjawab: „Saya tidak mau
akan kebangsaan".
T U A N L I M K O E N H I A N :
Bukan begitu. Ada sambungannya lagi.
T U A N S O E K A R N O :
Kalau begitu, maaf, dan saya mengucapkan terima kasih, karena tuan
Lim Koen Hian pun menyetujui dasar kebangsaan. Saya tahu, banyak juga orang-orang
Tionghoa klasik yang tidak mau akan dasar kebangsaan, karena mereka memeluk
faham kosmopolitisme, yang mengatakan tidak ada kebangsaan, tidak ada bangsa.
Bangsa Tionghoa dahulu banyak yang kena penyakit kosmopolitisme, sehingga
mereka berkata bahwa tidak ada bangsa Tionghoa, tidak ada bangsa Nippon,
tidak ada bangsa India, tidak ada bangsa Arab, tetapi semuanya „menschheid",„peri
kemanusiaan". Tetapi Dr. Sun Yat Sen bangkit, memberi pengajaran kepada
rakyat Tionghoa, bahwa a d a kebangsaan Tionghoa! Saya mengaku,
pada waktu saya berumur 16 tahun, duduk di bangku sekolah H.B.S. diSurabaya,
saya dipengaruhi oleh seorang sosialis yang bernama A. Baars, yang memberi
pelajaran kepada saya, - katanya: jangan berfaham kebangsaan, tetapi berfahamlah
rasa kemanusiaan sedunia, jangan mempunyai rasa kebangsan sedikitpun. Itu
terjadi pada tahun 17. Tetapi pada tahun 1918, alhamdulillah, ada orang
lain yang memperingatkan saya, - ialah Dr SunYat Sen! Di dalam tulisannya
„San Min Chu I" atau „The Three People’s Principles", saya mendapat pelajaran
yang membongkar kosmopolitisme yang diajarkan oleh A. Baars itu. Dalam
hati saya sejak itu tertanamlah r a s a k e b a n g s a a n,
oleh pengaruh „The Three People"s Principles" itu.
Maka oleh karena itu, jikalau seluruh bangsa Tionghoa menganggap Dr.
Sun Yat Sen sebagai penganjurnya, yakinlah, bahwa Bung Karno juga seorang
Indonesia yang dengan perasaan hormat-sehormat-hormatnya merasa berterima
kasih kepada Dr. Sun Yat Sen, - sampai masuk kelobang kubur. (Anggauta-anggauta
Tionghoa bertepuk tangan).
Saudara-saudara. Tetapi ........ tetapi ........... memang prinsip
kebangsaan ini ada b a h a y a n y a ! Bahayanya ialah mungkin orang
meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinisme, sehingga berfaham „Indonesia
uber Alles". Inilah bahayanya! Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa
yang satu, mempunyai bahasa yang satu. Tetapi Tanah Air kita Indonesia
hanya satu bahagian kecil saja dari pada dunia! Ingatlah akan hal ini!
Gandhi berkata: „Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah
perikemanusiaan „My nationalism is humanity".
Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri,
bukan chauvinisme, sebagai dikobar-kobarkan orang di Eropah, yang mengatakan„Deutschland
uber Alles", tidak ada yang setinggi Jermania, yang katanya, bangsanya
minulyo, berambut jagung dan bermata biru, „bangsa Aria", yang dianggapnya
tertinggi diatas dunia, sedang bangsa lain-lain tidak ada harganya. Jangan
kita berdiri di atas azas demikian, Tuan-tuan, jangan berkata, bahwa bangsa
Indonesialah yang terbagus dan termulya, serta meremehkan bangsa lain.
Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia.
Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia Merdeka, tetapi kita
harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa.
Justru inilah prinsip saya yang kedua. Inilah filosofisch principe
yang nomor dua, yang saya usulkan kepada Tuan-tuan, yang boleh saya namakan„i
n t e r n a s i o n a l i m e". Tetapi jikalau saya katakan internasionalisme,
bukanlah saya bermaksud k o s m o p o l i t i s m e, yang tidak mau
adanya kebangsaan, yang mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon,
tidak ada Birma, tidak ada Inggris, tidak ada Amerika, dan lain-lainnya.
Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam
buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak
hidup dalam taman-sarinya internasionalisme. Jadi, dua hal ini, saudara-saudara,
prinsip 1 dan prinsip 2, yang pertama-tama saya usulkan kepada tuan-tuan
sekalian, adalah bergandengan erat satu sama lain.
Kemudian, apakah dasar yang ke-3? Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar
perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk
satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya.
Tetapi kita mendirikan negara „semua buat semua", „satu buat semua,
semua buat satu". S a y a y a k i n s y a r
a t y a n g m u t l a k u n t u k k u a t n y a
n e g a r a I n - d o n e s i a i a l a h
p e r m u s y a w a r a t a n p e r w a k i l a n .
Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama.
Kita, sayapun, adalah orang Islam, -- maaf beribu-ribu maaf, keislaman
saya jauh belum sempurna, -- tetapi kalau saudara-saudara membuka
saya punya dada, dan melihat saya punya hati, tuan-tuan akan dapati tidak
lain tidak bukan hati Islam.
Dan hati Islam Bung karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam
permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan
agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan
Perwakilan Rakyat.
Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan.
Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan
Islam. Disinilah kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa
yang kita rasa perlu bagi perbaikan. Jikalau memang kita rakyat Islam,
marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar-supaya sebagian yang terbesar
dari pada kursi-kursi badan perwakilan Rakyat yang kita adakan, diduduki
oleh utusan Islam.Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian besarnya
rakyat Islam, dan jikalau memang Islam disini agama yang hidup berkobar-kobar
didalam kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap
rakyat itu, agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam
ke dalam badan perwakilan ini. Ibaratnya badan perwakilan Rakyat 100 orang
anggautanya, marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya, agar supaya
60,70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang Islam,
pemuka-pemuka Islam. dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari badan
perwakilan rakyat itu, hukum Islam pula. Malahan saya yakin, jikalau hal
yang demikian itu nyata terjadi, barulah boleh dikatakan bahwa agama Islam
benar-benar h i d u p di dalam jiwa rakyat, sehingga 60%, 70%,
80%, 90% utusan adalah orang Islam, pemuka-pemuka Islam, ulama-ulama Islam.
Maka saya berkata, baru jikalau demikian, baru jikalau demikian, h i d
u p l a h Islam Indonesia, dan bukan Islam yang hanya diatas bibirsaja.
Kita berkata, 90% dari pada kita beragama Islam, tetapi lihatlah didalam
sidang ini berapa % yang memberikan suaranya kepada Islam? Maaf seribu
maaf, saya tanya hal itu! Bagi saya hal itu adalah satu bukti, bahwa Islam
belum hidup sehidup-hidupnya di dalam kalangan rakyat. Oleh karena itu,
saya minta kepada saudara-saudara sekalian, baik yang bukan Islam, maupun
terutama yang Islam, setujuilah prinsip nomor 3 ini, yaitu prinsip permusyawaratan,
perwakilan. Dalam perwakilan nanti ada perjoangan sehebat-hebatnya. Tidak
ada satu staat yang hidup betul-betul hidup, jikalau di dalam badan-perwakilannya
tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah Candradimuka, kalau tidak ada
perjoangan faham di dalamnya. Baik di dalam staat Islam, maupun di dalam
staat Kristen, perjoangan selamanya ada. Terimalah prinsip nomor 3, prinsip
mufakat, prinsip perwakilan rakyat! Di dalam perwakilan rakyat saudara-saudara
islam dan saudara-saudara kristen bekerjalah sehebat- hebatnya. Kalau misalnya
orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter di dalam peraturan-peraturan
negara Indonesia harus menurut Injil, bekerjalah mati-matian, agar suapaya
sebagian besar dari pada utusan-utusan yang masuk badan perwakilan Indonesia
ialah orang kristen, itu adil, - fair play!. Tidak ada satu negara
boleh dikatakan negara hidup, kalau tidak ada perjoangan di dalamnya. Jangan
kira di Turki tidak ada perjoangan. Jangan kira dalam negara Nippon tidak
ada pergeseran pikiran. Allah subhanahuwa Ta’ala memberi pikiran kepada
kita, agar supaya dalam pergaulan kita sehari-hari, kita selalu bergosok,
seakan-akan menumbuk membersihkan gabah, supaya keluar dari padanya beras,
dan beras akan menjadi nasi Indonesia yang sebaik-baiknya. Terimalah saudara-saudara,
prinsip nomor 3, yaitu prinsip permusyawaratan
|