PIDATO SOEKARNO: LAHIRNYA PANCASILA 2/4
Cobalah pikirkan hal ini dengan memperbandingkannya dengan manusia.
Manusia pun demikian, saudara-saudara! Ibaratnya, kemerdekaan saya bandingkan
dengan perkawinan. Ada yang berani kawin, lekas berani kawin, ada yang
takut kawin. Ada yang berkata: Ah saya belum berani kawin, tunggu dulu
gajih F.500. Kalau saya sudah mempunyai rumah gedung, sudah ada permadani,
sudah ada lampu listrik, sudah mempunyai tempat tidur yang mentul-mentul,
sudah mempunyai sendok-garpu perak satu kaset, sudah mempunyai ini dan
itu, bahkan sudah mempunyai kinder-uitzet, barulah saya berani kawin.
Ada orang lain yang berkata: saya sudah berani kawin kalau saya sudah
mempunyai meja satu, kursi empat, yaitu „meja-makan", lantas satu zitje,
lantas satu tempat tidur.
Ada orang yang lebih berani lagi dari itu, yaitu saudara-saudara Marhaen!
Kalau dia sudah mempunyai gubug saja dengan tikar, dengan satu periuk:
dia kawin. Marhaen dengan satu tikar, satu gubug: kawin. Sang klerk dengan
satu meja, empat kursi, satu zitje, satu tempat-tidur: kawin.
Sang Ndoro yang mempunyai rumah gedung, elektrische kookplaat, tempat
tidur, uang bertimbun-timbun: kawin. Belum tentu mana yang lebih gelukkig,
belum tentu mana yang lebih bahagia, sang Ndoro dengan tempat tidurnya
yang mentul-mentul, atau Sarinem dan Samiun yang hanya mempunyai satu tikar
dan satu periuk, saudara-saudara!
(Tepuk tangan, dan tertawa)
Saudara-saudara, soalnya adalah demikian: k i t a i n i
b e r a n i m e r d e k a a t a u t i d a k?? Inilah,
saudara-saudara sekalian, Paduka tuan ketua yang mulia, ukuran saya yang
terlebih dulu saya kemukakan sebelum saya bicarakan hal-hal yang mengenai
dasarnya satu negara yang merdeka. Saya mendengar uraian P.T. Soetardjo
beberapa hari yang lalu, tatkala menjawab apakah yang dinamakan merdeka,
beliau mengatakan: kalau tiap-tiap orang di dalam hatinya telah merdeka,
itulah kemerdekaan. Saudara-saudara, jika t i a p - t i a p
orang Indonesia yang 70 milyun ini lebih dulu harus merdeka di dalam hatinya,
sebelum kita dapat mencapai political independence, saya ulangi lagi, sampai
lebur kiamat kita belum dapat Indonesia merdeka!
(Tepuk tangan riuh).
D i d a l a m Indonesia merdeka itulah kita m e m
e r d e k a k a k a n rakyat kita!! D i d a l a m
Indonesia Merdeka itulah kita m e m e r d e k a k a n hatinya
bangsa kita! D i d a l a m Saudi Arabia Merdeka, Ibn
Saud m e m e r d e k a k a n rakyat Arabia satu persatu. D
i d a l a m Soviet-Rusia Merdeka Stalin m e m e r d e
k a - k a n hati bangsa Soviet-Rusia satu persatu.
Saudara-saudara! Sebagai juga salah seorang pembicara berkata: kita
bangsa Indonesia tidak sehat badan, banyak penyakit malaria, banyak dysenterie,
banyak penyakit hongerudeem, banyak ini banyak itu. „Sehatkan dulu bangsa
kita, baru kemudian merdeka".
Saya berkata, kalau inipun harus diselesaikan lebih dulu, 20 tahun
lagi kita belum merdeka. D i d a l a m Indonesia Merdeka itulah
kita menyehatkan rakyat kita, walaupun misalnya tidak dengan kinine, tetapi
kita kerahkan segenap masyarakat kita untuk menghilangkan penyakit malaria
dengan menanam ketepeng kerbau. D i d a l a m Indonesia
Merdeka kita melatih pemuda kita agar supaya menjadi kuat, d i d a l a
m Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik-baiknya. Inilah
maksud saya dengan perkataan „jembatan". Di seberang jembatan, j e m b
a t a n e m a s, inilah, baru kita l e l u a s a menyusun masyarakat
Indonesia merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi.
Tuan-tuan sekalian! Kita sekarang menghadapi satu saat yang maha
penting. Tidakkah kita mengetahui, sebagaimana telah diutarakan oleh berpuluh-puluh
pembicara, bahwa sebenarnya internationalrecht, hukum internasional, menggampangkan
pekerjaan kita? Untuk menyusun, mengadakan, mengakui satu negara
yang merdeka, tidak diadakan syarat yang neko-neko, yang menjelimet, tidak!.
Syaratnya sekedar bumi, rakyat, pemerintah yang teguh! Ini sudah cukup
untuk internationalrecht. Cukup, saudara-saudara. Asal ada buminya, ada
rakyatnya, ada pemerintahnya, kemudian diakui oleh salah satu negara yang
lain, yang merdeka, inilah yang sudah bernama: merdeka. Tidak peduli rakyat
dapat baca atau tidak, tidak peduli rakyat hebat ekonominya atau tidak,
tidak peduli rakyat bodoh atau pintar, asal menurut hukum internasional
mempunyai syarat-syarat suatu negara merdeka, yaitu ada rakyatnya, ada
buminya dan ada pemerintahnya, - sudahlah ia merdeka.
Janganlah kita gentar, zwaarwichtig, lantas mau menyelesaikan lebih
dulu 1001 soal yang bukan-bukan! Sekali lagi saya bertanya: Mau merdeka
apa tidak? Mau merdeka atau tidak? (Jawab hadlirin: Mau!)
Saudara-saudara! Sesudah saya bicarakan tentang hal „merdeka",maka
sekarang saya bicarakan tentang hal d a s a r.
Paduka tuan Ketua yang mulia! Saya mengerti apakah yang paduka tuan
Ketua kehendaki! Paduka tuan Ketua minta d a s a r , minta
p h i l o s o p h i s c h e g r o n d s l a g , atau,
jikalau kita boleh memakai perkataan yang muluk-muluk, Paduka tuan Ketua
yang mulia meminta suatu „Weltanschauung", diatas mana kita mendirikan
negara Indonesia itu.
Kita melihat dalam dunia ini, bahwa banyak negeri-negeri yang merdeka,
dan banyak diantara negeri-negeri yang merdeka itu berdiri di atas suatu„Weltanschauung".
Hitler mendirikan Jermania di atas „national-sozialistische Weltanschauung",
- filsafat nasional-sosialisme telah menjadi dasar negara Jermania
yang didirikan oleh Adolf Hitler itu. Lenin mendirikan negara Soviet diatas
satu „Weltanschauung", yaitu Marxistische, Historisch- materialistische
Weltanschaung. Nippon mendirikan negara negara dai Nippon di atas satu
„Weltanschauung", yaitu yang dinamakan „Tennoo Koodoo Seishin". Diatas
„Tennoo Koodoo Seishin" inilah negara dai Nippon didirikan. Saudi Arabia,
Ibn Saud, mendirikan negara Arabia di atas satu „Weltanschauung", bahkan
diatas satu dasar agama, yaitu Islam. Demikian itulah yang diminta oleh
paduka tuan Ketua yang mulia: Apakah „Weltanschauung" kita, jikalau kita
hendak mendirikan Indonesia yang merdeka?
Tuan-tuan sekalian, „Weltanschauung" ini sudah lama harus kita bulatkan
di dalam hati kita dan di dalam pikiran kita, sebelum Indonesia Merdeka
datang. Idealis-idealis di seluruh dunia bekerja mati-matian untuk mengadakan
bermacam-macam „Weltanschauung", bekerja mati-matian untuk me"realiteitkan"„Weltanschauung"
mereka itu. Maka oleh karena itu, sebenarnya tidak benar perkataan anggota
yang terhormat Abikusno, bila beliau berkata, bahwa banyak sekali negara-negara
merdeka didirikan dengan isi seadanya saja, menurut keadaan, Tidak! Sebab
misalnya, walaupun menurut perkataan John Reed: „Soviet-Rusia didirikan
didalam 10 hari oleh Lenin c.s.", - John Reed, di dalam kitabnya:„Ten days
that shook the world", „sepuluh hari yang menggoncangkan dunia" -, walaupun
Lenin mendirikan Soviet-Rusia di dalam 10 hari, tetapi „Weltanschauung"nya,
dan di dalam 10 hari itu hanya sekedar direbut kekuasaan, dan ditempatkan
negara baru itu diatas „Weltanschauung" yang sudah ada. Dari 1895 „Weltanschauung"
itu telah disusun. Bahkan dalam revolutie 1905,Weltanschauung itu „dicobakan",
di „generale-repetitie-kan".
Lenin di dalam revolusi tahun 1905 telah mengerjakan apa yang dikatakan
oleh beliau sendiri „generale-repetitie" dari pada revolusi tahun 1917.
Sudah lama sebelum 1917, „Weltanschaung" itu disedia-sediakan, bahkan diikhtiar-ikhtiarkan.
Kemudian, hanya dalam 10 hari, sebagai dikatakan oleh John Reed, hanya
dalam 10 hari itulah didirikan negara baru, direbut kekuasaan, ditaruhkan
kekuasaan itu di atas „Weltanschauung" yang telah berpuluh-puluh tahun
umurnya itu. Tidakkah pula Hitler demikian?
Di dalam tahun 1933 Hitler menaiki singgasana kekuasaan, mendirikan
negara Jermania di atas National-sozialistische Weltanschauung.
Tetapi kapankah Hitler mulai menyediakan dia punya „Weltanschauung"
itu? Bukan di dalam tahun 1933, tetapi di dalam tahun 1921 dan 1922
beliau telah bekerja, kemudian mengikhtiarkan pula, agar supaya Naziisme
ini, „Weltanschauung" ini, dapat menjelma dengan dia punya „Munschener
Putsch", tetapi gagal. Di dalam 1933 barulah datang saatnya yang beliau
dapat merebut kekuasaan, dan negara diletakkan oleh beliau di atas dasar„Weltanschauung"
yang telah dipropagandakan berpuluh-puluh tahun itu.
Maka demikian pula, jika kita hendak mendirikan negara Indonesia Merdeka,
Paduka tuan ketua, timbullah pertanyaan: Apakah „Weltanschauung" kita,
untuk mendirikan negara Indonesia Merdeka diatasnya? Apakah nasional-sosialisme?
Apakah historisch-materialisme? Apakah San Min Chu I, sebagai dikatakan
doktor Sun Yat Sen?
Di dalam tahun 1912 Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok merdeka,
tetapi „Weltanschauung"nya telah dalam tahun 1885, kalau saya tidak salah,
dipikirkan, dirancangkan. Di dalam buku „The three people"s principles"
San Min Chu I, - Mintsu, Minchuan, Min Sheng, - nasionalisme,
demokrasi, sosialisme,- telah digambarkan oleh doktor Sun Yat Sen
Weltanschauung itu, tetapi baru dalam tahun 1912 beliau mendirikan negara
baru diatas „Weltanschauung" San Min Chu I itu, yang telah disediakan
terdahulu berpuluh-puluh tahun.
Kita hendak mendirikan negara Indonesia merdeka di atas „Weltanschauung"
apa? Nasional-sosialisme-kah, Marxisme-kah, San Min Chu I-kah, atau „Weltanschauung’
apakah?
Saudara-saudara sekalian, kita telah bersidang tiga hari lamanya, banyak
pikiran telah dikemukakan, - macam-macam - , tetapi alangkah benarnya
perkataan dr Soekiman, perkataan Ki Bagoes Hadikoesoemo, bahwa kita harus
mencari persetujuan, mencari persetujuan faham. Kita bersama-sama mencari
p e r s a t u a n p h i l o s o p h i s c h e g r o n
d s l a g , mencari satu „Weltanschauung" yang k i t a s e
m u a setuju. Saya katakan lagi s e t u j u ! Yang saudara
Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hajar setujui, yang sdr.
Sanoesi setujui, yang sdr. Abikoesno setujui, yang sdr. Lim Koen Hian setujui,
pendeknya kita semua mencari satu modus. Tuan Yamin, ini bukan compromis,
tetapi kita bersama-sama mencari satu hal yang kita b e r -s a m
a - s a m a setujui. Apakah itu? Pertama-tama, saudara-saudara, saya
bertanya: Apakah kita hendak mendirikan Indonesiamerdeka untuk sesuatu
orang, untuk sesuatu golongan?
Mendirikan negara Indonesia merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka,
tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan
kepada satu golongan yang kaya, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan
bangsawan?
Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik saudara-saudara
yang bernama kaum kebangsaan yang disini, maupun saudara-saudara yang dinamakan
kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan yang demikian itulah kita
punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara „semua buat semua". Bukan
buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun
golongan yang kaya, - tetapi „semua buat semua". Inilah
salah satu dasar pikiran yang nanti akan saya kupas lagi. Maka, yang selalu
mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja di dalam beberapa hari
di dalam sidang Dokurutu Zyunbi Tyoosakai ini, akan tetapi sejak tahun
1918, 25 tahun yang lebih, ialah: Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar
buat negara Indonesia, ialah dasar
k e b a n g s a a n.
|