|
Potret Keseharian Bung Karno; Kesaksian
Mangil (6-Habis)
Ciuman Itu Menggegerkan Dunia...
Bung Karno yang flamboyan ini ternyata
pernah "dikerjai" seorang laksamana Amerika di Hawaii. Akibat ulah laksamana
ini, pers asing geger. Mereka memberikan komentar yang mendiskreditkan
Bung Karno. Meski "dikerjai", Bung Karno tidak marah. Bahkan tersenyum.
Bagaimana Bung Karno sampai bisa dikerjai? Berikut kisahnya seperti yang
ditulis Mangil dalam buku Kesaksian Bung Karno 1945-1967.
Dalam seri terakhir ini, Mangil juga menceritakan romantika Bung Karno
yang blusukan di daerah kumuh di Jakarta.
SEBAGAI seorang presiden, adalah wajar
bagi Bung Karno mengadakan kunjungan ke daerah-daerah di belahan dunia
yang lain. Suatu ketika, Bung Karno beserta rombongan mendarat di lapangan
udara Hawaii. Karena Bung Karno adalah presiden, maka Bung Karno diperlakukan
layaknya tamu agung. Para pejabat Hawaii, termasuk seorang laksamana Amerika
Serikat yang juga pemimpin tertinggi pasukan di Lautan Pasifik, ikut menjemput
Bung Karno.
Setelah diadakan upacara kemiliteran,
diadakan upacara perkenalan dengan pejabat setempat. Tak berapa lama kemudian
dua acara ini selesai. Laksamana dari Amerika itu memberi tahu ke Bung
Karno bahwa sebentar lagi akan diadakan upacara adat Hawaii. "Apa yang
harus saya lakukan selanjutnya," tanya Bung Karno kepada laksamana tersebut.
Laksamana dari Negeri Paman Sam ini
memberi tahu, +++Bung Karno harus mencium kembali gadis cantik itu. Sebab,
kalau Bung Karno tidak balas mencium, gadis tersebut bakal merasa terhina.
Bung Karno manggut-manggut. Setelah upacara adat selesai, Bung Karno benar-benar
mencium gadis tersebut. Peristiwa ini diabadikan oleh para wartawan. Kebetulan,
gadis yang dicium Bung Karno adalah mahasiswi Universitas Hawaii, sekaligus
ratu kecantikan Hawaii.
Ternyata, media asing geger dengan
berita ciuman tadi. Mereka berkomentar dan menjelek-jelekkan Bung Karno.
Seolah-olah Bung Karno selalu berusaha mencicipi gadis-gadis cantik. Mendengar
berita ini, seperti biasa, Bung Karno hanya tersenyum. "Memang begitulah
sifat orang yang memusuhi Soekarno, terutama pers Barat," gumam Bung Karno.
Selain melakukan kunjungan resmi atau
kenegaraan, Bung Karno juga sering melakukan kunjungan tak resmi (incognito).
Bung Karno sering berkeliling Jakarta untuk melihat umyeke wong golek
pangan (sibuknya warga mencari rezeki, Red). Kadang-kadang, Bung Karno
ingin mengetahui harga barang-barang kebutuhan hidup rakyat sehari-hari.
Ingin mengetahui harga kelapa yang ternyata sangat mahal. Padahal, hidup
Jawa ini, orang bilang hidup di pulau kelapa. Begitu banyak pohon kelapa
di Pulau Jawa ini. Tanaman serba guna melambai-lambai daunnya di tepi pantai.
Tak hanya itu. Di desa-desa dan di pegunungan juga banyak ditemukan pohon
kelapa. Bung Karno mendapat keterangan bahwa sopir-sopir truk pengangkut
kelapa dari daerah Cilegon dan Serang ke Jakarta ini, di beberapa tempat,
dimintai uang. "Ini yang membuat harga kelapa jadi mahal. Sebab, uang yang
diminta akhirnya pembeli juga yang harus membayar. Ini harus segera diberantas,
karena menyangkut kehidupan rakyat kecil," kata Bung Karno.
Pria karismatik yang juga disebut Pemimpin
Besar Revolusi ini sering pula berdialog langsung dengan rakyat kecil.
Biasanya, Bung Karno menanyakan keadaan serta kehidupan mereka. Biasanya
juga, rakyat yang diajak ngobrolini tidak mengetahui kalau pria
tampan yang sedang bicara adalah Bung Karno. Soalnya, Bung Karno tidak
memakai peci hitam sehingga rakyat sukar mengenali. Dan, lagi, orang-orang
yang berada di sekitar Bung Karno sedikit. Hanya beberapa orang.
Sementara para pengawal yang berpakaian
preman berdiri agak jauh. Selain blusukan di Jakarta, Bung Karno
sering ngomong dengan rakyat sampai di daerah Tangerang.
Terkadang, Bung Karno juga pergi ke
Pantai Layar Berkembang dan makan sate bersama putra-putrinya. Malam hari
pun Bung Karno pernah ke daerah Senen, "Daerah Planit" (kawasan pelacuran)
tempo dulu. Dalam cahaya malam, Bung Karno berjalan mendekati gerbong-gerbong
kereta api, tempat orang yang tidak mempunyai rumah tinggal. Di tempat
ini Bung Karno sempat bercakap-cakap dengan para gelandangan.
Tak lama kemudian, ada seorang perempuan
berkata dengan suara keras, "Lho, itu kan suara Bapak (Bung
Karno, Red). Itu Bapak, ya?" Karuan saja, hanya dalam beberapa menit,
sekitar tempat tersebut sudah penuh dengan orang. Mereka berdiri mengelilingi
Bung Karno. Dengan susah payah, akhirnya Mangil membawa Bung Karno meninggalkan
daerah tersebut.
Bung Karno juga sering nyekar
(berziarah, Red) ke makam ayahnya di Pemakaman Karet, Jakarta. Kadang malam
hari, kadang siang. Tetapi lebih banyak siang. Suatu hari, setelah Bung
Karno tiba kembali di Istana Merdeka, sekembali dari nyekar makam
ayahnya, Bung Karno memanggil Mangil.
"Coba Mangil, engkau tanya sama orang
yang sedang menggendong anak kecil sambil menyusui itu. Sebetulnya, mereka
punya rumah atau tidak. Baik di Jakarta maupun di daerah. Dan, kalau memang
tidak punya rumah, apakah mereka itu sanggup dipindahkan ke tempat lain.
Kenapa? Agar kalau bapak lewat jalan di tempat itu, perempuan yang menggendong
anak kecil itu tidak ada di sana. Saya merasa kasihan sekali dengan perempuan
yang menggendong anak kecil itu. Entah bagaimana caranya. Ini, bapak ada
uang sedikit, kasihkan kepada mereka," kata Bung Karno panjang lebar kepada
Mangil.
Kemudian Bung Karno memberikan amplop
kepada Mangil. Tak lama kemudian, Mangil meninggalkan Jakarta menuju tempat
gelandangan tersebut. Mangil langsung ke tempat gelandangan yang tak jauh
dari kantor Brigade Mobil, tepatnya dekat jembatan tempat perempuan dan
anaknya mangkal. Komandan Detasemen Kawal Pribadi ini bertanya kepada
seorang lelaki yang ada di sekitar itu perihal perempuan gelandangan tersebut.
Nama, asal daerah, dan pekerjaan di Jakarta.
Ternyata, mereka itu satu keluarga
yang bertempat tinggal di kolong jembatan. Sepasang suami-istri dan beberapa
anaknya. Mereka berasal dari Jawa Tengah. Sekarang tak punya rumah dan
pekerjaan mereka adalah menjual kue, kopi, dan teh. Lelaki yang ditanya
Mangil lantas menunjuk tempat yang dipakai berjualan. Dulu, di samping
jembatan ada pohon. Apabila hari tidak hujan, mereka tinggal di bawah pohon
tersebut. Agar tak terlihat orang, di bawah pohon ini dibuat pagar bambu.
Apabila hujan, mereka masuk ke kolong jembatan.
Mangil kemudian bertanya, berapa modal
dan berapa keuntungan yang didapat setiap hari. Ternyata lumayan. Selain
untuk membiayai hidup sehari-hari, untung yang didapat juga bisa untuk
ditabung. "Mengapa tidak mencari rumah kontrakan?" tanya Mangil. Dia menjawab,
selama ini sudah berusaha mencari kontrakan, tetapi tidak cukup punya uang.
"Uang kontrakannya terlalu tinggi, Pak," katanya.
Dia menceritakan, sebenarnya dia sering
diusir polisi. Tetapi selalu kembali lagi. "Sebab, di sinilah tempat saya
mencari makan," jawabnya, lirih. Sebenarnya tempat itu tidak enak. Sebab,
kalau hujan, pasti basah. "Tetapi mau ke mana lagi," imbuh lelaki tersebut
sambil menundukkan kepala.
Mangil lantas memberi lelaki ini uang
untuk modal dan untuk cari kontrakan. Lelaki itu tampak senang sekali.
Beberapa keluarga yang juga tinggal di sekitar kolong ini juga diberi uang.
Mangil meminta mereka agar tidak lagi tinggal di daerah ini. Pada pagi
harinya, Mangil datang lagi ke tempat para gelandangan itu. Ternyata mereka
sudah tidak ada di tempat tersebut. Dan sejak itu, Bung Karno tak melihat
lagi perempuan yang menggendong anak kecil sambil menyusui. Sebuah pemandangan
sehari-hari di Jakarta, kini, tanpa ada tokoh seperti Bung Karno yang mau
memperhatikannya. (moh. susilo) |