Disneyland 1972 Love the old s
 
Potret Keseharian Bung Karno; Kesaksian Mangil (2)
Sumber Jawa Pos

Dibentak Pengawal, Dibalas dengan Tertawa

Bung Karno memang tokoh yang sejuk. Di balik wajahnya yang teduh, tersimpan pribadi yang hangat, rendah hati, dan tak mudah marah. Buktinya, meski beberapa kali diomeli, bahkan dibentak pengawal atau ajudan, Bung Karno tidak marah. Sering, Bung Karno yang juga akrab disapa BK ini malah tertawa melihat polah anak buahnya itu. Berikut lanjutan kisah keseharian Bung Karno sebagaimana ditulis Mangil Martowidjojo dalam buku Kesaksian tentang Bung Karno 1945–1967.

ISTANA Negara Jakarta, pagi hari di pertengahan 1950. Bung Karno terlihat berjalan-jalan di halaman Istana. Beberapa pengawal tampak berada di belakang presiden pertama Indonesia itu. Tak jauh dari tempat Bung Karno menikmati udara segar pagi, terlihat Sudiyo, salah seorang anggota Detasemen Kawal Pribadi Presiden (DKP) keluar dari dapur Istana. Di tangannya terlihat sejumlah potongan roti yang rencananya akan ia bagikan kepada rekan-rekannya. Agaknya, ia ragu dengan jumlah roti yang ia bawa. Buktinya, ketika berjalan, matanya tertuju pada roti yang ia bawa sambil mulutnya komat-kamit menghitung roti itu.

Ketika sedang asyik menghitung sambil berjalan ini, Sudiyo berpapasan dengan Bung Karno. Dengan cueknya, Sudiyo masih saja menghitung roti di tangan sambil berkata, "Goede morgen, mijnheer (selamat pagi Tuan, Red)." Matanya terus tertuju ke roti yang ia bawa. Mendengar ucapan berbahasa Belanda dari pengawalnya ini, Bung Karno langsung berhenti dan menoleh ke arah Sudiyo. "Siapa dia?" tanya Bung Karno. Pengawal menjawab bahwa orang yang membawa roti tersebut pengawal presiden bernama Sudiyo.

Bung Karno langsung mengajak para pengawal mengikuti Sudiyo yang berpostur gendut ini dari belakang. Ketika Sudiyo sambil jongkok masih juga sibuk menghitung jumlah roti, Bung Karno berdiri di belakangnya sambil berkata, "Kalau rotinya masih saja kurang, ambil lagi." Tanpa menoleh, Sudiyo malah membentak, "Ya, nanti saja, wong masih dihitung kok." Bung Karno tertawa. Tetapi, para pengawal yang sedang bertugas langsung menegur Sudiyo. "He, lihat dulu, kamu bicara dengan siapa?" kata salah seorang pengawal. Langsung Sudiyo menoleh. Dia melihat Bung Karno berdiri di belakangnya. Dengan gemetar, Sudiyo langsung ikut berdiri dan dengan sikap sempurna, ia pun melapor, "Siap, Pak. Sudiyo mohon maaf." Bung Karno tetap tersenyum dan meneruskan jalan sambil mengontrol kebersihan serta kerapian tanaman yang ada di kompleks Istana.

Dalam sebuah kesempatan kemudian, Sudiyo mengaku menyesal dengan kejadian ini. Dia mengira orang yang ia sapa dengan bahasa Belanda itu adalah Ven der Bijl, orang Belanda yang kebetulan bertugas di Istana.

Selain teliti, Bung Karno dikenal tak segan-segan melakukan pekerjaan sendiri. Suatu ketika, Bung Karno jalan-jalan di halaman Istana seperti biasa. Bung Karno ditemani Sugandhi, ajudan presiden, dan seorang anggota polisi pengawal pribadi. Bung Karno tampak mengamati bata merah yang terletak di pinggir jalan, yang ternyata tidak betul. Banyak yang tidak teratur. Di salah satu jalan di dalam kompleks Istana ini memang diletakkan bata merah supaya mobil yang lewat tak melindas rumput.

Karena bata merah ini tak teratur, Bung Karno memerintahkan Sugandhi membetulkan letak bata merah tersebut. Lantas Sugandhi ganti memerintah pengawal pribadi membetulkannya. Langsung saja Bung Karno berkata, "Ya sudah, kalau kamu tak mau, akan saya kerjakan sendiri."

Bung Karno kemudian membetulkan letak bata merah tersebut. Dengan cepat Sugandhi dan pengawal pribadi ikut membetulkan letak bata merah di sepanjang jalan. Hari berikutnya, Sugandhi memberi tahu semua polisi pengawal pribadi, kalau diperintah Bung Karno, harus dikerjakan sendiri. Tidak boleh menyuruh orang lain.

Bung Karno yang flamboyan ini, selain pernah dibentak pengawal, juga pernah diomeli ajudan. Suatu ketika, Bung Karno memerintahkan seorang polisi untuk memanggil Sugandhi yang bertempat tinggal di paviliun Istana Negara. Waktu itu Sugandhi baru saja membuka pakaian seragam dan bersiap akan beristirahat. Mendengar panggilan ini, Sugandhi mengenakan lagi celana dan kemeja seragam militernya. Sambil memakai sepatu, Sugandhi mengeluh, "Wong kok ora oleh istirahat (orang koktidak boleh beristirahat, Red)." Padahal, waktu itu Bung Karno sudah berdiri tepat di belakang Sugandhi dan tentu saja mendengar jelas keluhan ini. Bung Karno pun bertanya, "Ada apa, Di?"

Mendengar suara Bung Karno, Sugandhi terperanjat. Sesaat kemudian ia mengambil sikap sempurna. Sambil tertawa, Sugandhi menjawab, "Mboten kok, Pak (tidak apa-apa kok, Pak, Red)." Dalam buku soal kesaksian Bung Karno ini, Mangil menulis, Sugandhi memang salah satu ajudan Bung Karno yang senang melucu, gemar bercanda dan melawak.

Masih soal peristiwa kecil yang terkait dengan kehidupan sehari-hari Bung Karno, suatu pagi Bung Karno jalan kaki mengelilingi Istana dengan dikawal seorang pengawal pribadi. Ketika melewati kamar ajudan presiden, terdengar suara radio yang disetel keras. Bung Karno lantas bertanya, "Siapa yang nyetel radio keras-keras?"

Pengawal menjawab bahwa radio tersebut berada di dalam kamar ajudan. Dalam kamar tersebut ada Sugandhi bersama seorang tamu yang sering datang ke Istana. Namanya Kapten Andi Jusuf. Selain dua orang ini, Mangil berada di dalam kamar tersebut. Begitu melihat kedatangan Bung Karno dan pengawal, Sugandhi bersama Mangil langsung berlari ke kamar mandi. Kebetulan keduanya belum mandi pagi.

Tak berapa lama, Bung Karno sampai di depan kamar ajudan dan langsung masuk. "Kunnen jullie niet leven zonder radio (tidak dapatkah kalian hidup tanpa radio)?" kata Bung Karno. Setelah mengatakan hal ini, Bung Karno melanjutkan jalan-jalan. Lalu, Sugandhi dan Mangil keluar dari kamar mandi. "Terlalu, masak saya dijadikan umpan," kata Jusuf begitu melihat Sugandhi dan Mangil muncul. Apa jawaban mereka? Sugandhi dan Mangil langsung tertawa. Memang, Bung Karno waktu itu hanya menemukan Jusuf. Kelak, Kapten Jusuf ini mempunyai peran penting dalam perjalanan sejarah Indonesia. Dia bersama Amir Machmud dan Basuki Rachmat menjadi salah satu tokoh kunci di balik peristiwa penandatanganan Surat Perintah 11 Maret yang menandai peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto. Andi Jusuf ini kelak menyandang bintang empat dan menjadi Menhankam/Pangab. Namanya lebih dikenal sebagai M. Jusuf. (moh.susilo)